Setelah beberapa minggu, kasus Mbah Lasmi dibawa ke pengadilan. Di ruang sidang yang penuh sesak, Mbah Lasmi duduk di kursi terdakwa. Dengan suara pelan, ia menjelaskan kepada hakim, “Yang Mulia, kayu-kayu ini aku kumpulkan dari lahan yang sudah lama kumiliki. Aku hanya mengambil yang sudah jatuh dan kering, tidak pernah aku tebang pohon."
Pihak penuntut dari perusahaan bersikeras bahwa hutan itu adalah milik PT Perhutani dan setiap pengambilan kayu, berapa pun jumlahnya, merupakan pelanggaran hukum.
Hakim mendengarkan dengan saksama, memperhatikan semua bukti dan argumen dari kedua belah pihak. Mata hakim sesekali melirik ke arah Mbah Lasmi yang duduk dengan tubuh lemah, wajahnya penuh keriput, tetapi matanya masih menunjukkan keteguhan hati.
Setelah menimbang semua hal, hakim akhirnya berbicara, “Secara hukum, Mbah Lasmi memang telah memasuki wilayah hutan yang diakui sebagai milik PT Perhutani. Namun, berdasarkan pertimbangan hati nurani, moral, dan kondisi kehidupan terdakwa, pengadilan memutuskan untuk tidak menjatuhkan hukuman.
Tindakan ini dilakukan tanpa niat buruk dan bukan untuk tujuan perusakan. Pengadilan memberikan diskresi untuk mengedepankan rasa keadilan yang sesungguhnya."
Mbah Lasmi menangis haru, sementara orang-orang di ruang sidang terdiam. Mungkin bagi mereka kini ada kesadaran baru bahwa hukum memang penting, tetapi keadilan sejati tidak hanya dilihat dari aturan tertulis, melainkan juga dari hati nurani dan nilai-nilai moral.
Ya, kita semua mungkin tidak asing dengan kisah Mbah Lasmi ini. Kasus seorang nenek yang diseret ke pengadilan karena kayu-kayu yang dia ambil ternyata berada di atas tanah PT Perhutani.
Bagi sebagian besar dari kita mungkin menganggap kayu itu tidaklah seberapa nilainya. Tapi dalam kasus Mbah Lasmi, kayu menjadi perkara yang cukup besar!
Mbah Lasmi menilai bahwa kayu-kayu itu adalah penopang untuk hidupnya terus berjalan dan dia membutuhkannya, apa pun caranya. Bagi PT Perhutani (mungkin) kehilangan kayu-kayu itu pun menjadi persoalan besar tentang hukum yang seharusnya tidak pandang bulu bagi siapa pun yang melanggarnya.
Di cerita yang saya tulis ini, hakim memilih penggunaan diskresi: untuk membuat keputusan ketika hukum tidak sepenuhnya jelas atau ada pertimbangan moral dan etis yang perlu diperhatikan. Mbah Lasmi ini hanya sebuah karangan, terinspirasi dari kasus serupa yang menimpa Nenek Asiani. Bedanya, Nenek Asiani dinyatakan bersalah oleh hakim, dikenai hukuman penjara satu tahun dan denda 500 juta rupiah.
Warga mengenakan topeng bergambar terdakwa kasus pencurian kayu Perhutani, Asiani (63 tahun) saat di Solo, meminta pembebasan Minggu (5/4). (ANTARA/Maulana Surya) |
Apakah hakim memberikan keputusan yang tidak adil untuk nenek Asiani? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Tapi bagi saya tentu akan kecewa dengan keputusan hakim jika pengambilan keputusan hanya sekadar mematuhi hukum, lantas mengabaikan hati nurani, moral, dan etika.
Manusia seharusnya tidak hanya perlu patuh pada hukum, tapi ia juga harus bermoral. // Aan Sopiyan, S.Psi.
0 Komentar