Saya membuka mata di pagi hari, hal pertama yang sering saya lakukan adalah meraih HP di samping bantal. Kamu juga mungkin begitu. Awalnya terasa seperti kebiasaan kecil yang sepele, hanya sekadar memeriksa notifikasi atau melihat apa yang sedang tren di media sosial. Tapi sadar atau tidak, momen itu sebenarnya adalah langkah pertama dari siklus yang lebih besar: tentang bagaimana HP mencuri fokus kita.
Kalau dipikir-pikir, HP memang dirancang untuk menarik perhatian. Setiap aplikasi, notifikasi, dan fitur di dalamnya punya tujuan utama: memastikan kita tetap terlibat. Ini bukan kebetulan. Pengembang aplikasi menggunakan prinsip psikologi untuk menciptakan pengalaman yang membuat kita sulit lepas. Salah satu konsepnya adalah variable reward. Kamu pernah dengar eksperimen Skinner dengan tikus? Tikus diberi tuas, dan saat mereka menekannya, kadang dapat makanan, kadang tidak. Ketidakpastian inilah yang membuat mereka terus menekan tuas itu. Sekarang, bayangkan HP kamu sebagai tuas itu, dan setiap notifikasi atau update sebagai hadiahnya.
Bayangkan ini: kamu sedang bekerja, lalu HP kamu berbunyi. Otak langsung bereaksi, seperti refleks. "Apa itu? Mungkin sesuatu yang penting." Kamu meraih HP dan membuka notifikasi, hanya untuk menemukan promosi diskon dari aplikasi belanja. Tapi karena sudah membuka HP, kamu berpikir, "Sekalian cek Instagram, deh." Lima menit berubah jadi lima belas, dan tiba-tiba waktu kerja kamu sudah berantakan. Saya tahu karena saya sering terjebak dalam situasi yang sama.
Yang menarik, ini bukan cuma soal distraksi kecil. Ketika kita terus-menerus membagi perhatian antara HP dan tugas lain, otak kita tidak pernah benar-benar fokus. Penelitian dari University of California menunjukkan bahwa butuh rata-rata 23 menit untuk kembali sepenuhnya fokus setelah terganggu. Kalau kamu menerima notifikasi setiap sepuluh menit, secara teori, kamu tidak pernah benar-benar fokus sepanjang hari.
Tapi apa yang membuat ini lebih rumit adalah perasaan yang muncul saat kita mencoba melawan distraksi ini. Pernahkah kamu merasa cemas saat lupa membawa HP? Atau gelisah kalau tidak memeriksa media sosial dalam waktu lama? Perasaan itu bukan kebetulan. Para psikolog menyebut fenomena ini sebagai nomophobia (no-mobile-phone phobia), rasa takut atau cemas berlebihan saat tidak bisa mengakses HP. Ini bukan berarti kita semua kecanduan, tapi jelas ada hubungan emosional yang kuat antara kita dan HP.
Namun, semua ini bukan berarti HP adalah penjahatnya. Pada dasarnya, teknologi hanyalah alat, dan bagaimana kita menggunakannya bergantung pada pilihan kita. Masalahnya, pilihan-pilihan itu seringkali tidak sadar. Misalnya, pernahkah kamu memikirkan berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk scroll tanpa tujuan? Menurut DataReportal, rata-rata orang Indonesia menghabiskan sekitar 8 jam sehari di internet, dengan hampir separuhnya di media sosial. Itu setara dengan satu shift kerja penuh.
Salah satu alasan kita sulit lepas dari HP adalah karena ia memberi kita ilusi kontrol. Saat membuka media sosial atau memeriksa berita, kita merasa seperti sedang "melakukan sesuatu". Padahal, seringnya kita menjadi konsumen pasif, bukan aktor aktif. Algoritma dirancang untuk memberikan konten yang membuat kita terus berada di platform, bahkan jika itu berarti mengorbankan waktu dan perhatian kita.
Tapi tentu saja, kita tidak harus menyerah begitu saja. Salah satu cara yang saya coba adalah dengan menerapkan digital detox. Tidak perlu ekstrem seperti mematikan HP selama seminggu penuh (walaupun kalau bisa, kenapa tidak?). Mulailah dari langkah kecil, seperti mematikan notifikasi untuk aplikasi yang tidak penting atau menetapkan waktu tertentu di mana kamu tidak akan menyentuh HP sama sekali. Saya juga menemukan bahwa meletakkan HP di tempat yang jauh dari jangkauan fisik saat bekerja sangat membantu. Dengan begitu, saya tidak bisa langsung meraihnya hanya karena dorongan sesaat.
Kamu juga bisa memanfaatkan teknologi untuk melawan distraksi itu sendiri. Ada banyak aplikasi produktivitas yang dirancang untuk membantu kita tetap fokus, seperti aplikasi yang memblokir akses ke media sosial selama jam kerja atau aplikasi meditasi yang membantu kita kembali ke momen saat ini. Saya sendiri menggunakan teknik Pomodoro, di mana saya bekerja selama 25 menit penuh tanpa distraksi, lalu istirahat singkat 5 menit. Cara ini membantu saya membangun kebiasaan fokus yang lebih baik.
Lebih dari itu, saya merasa penting untuk mengingatkan diri sendiri kenapa kita ingin fokus sejak awal. Apa tujuan kita? Apa hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup kita? Ketika jawabannya jelas, distraksi dari HP tidak lagi terasa semenarik dulu. Fokus kita akan tertarik secara alami ke hal-hal yang benar-benar berarti.
Pada akhirnya, saya tidak percaya bahwa solusi masalah ini adalah meninggalkan teknologi sepenuhnya. Sebaliknya, ini tentang membangun hubungan yang sehat dengan teknologi. Sama seperti hubungan lainnya, itu membutuhkan batasan, kesadaran, dan upaya terus-menerus. Saya yakin, dengan sedikit usaha, kita bisa mengambil kembali kendali atas perhatian kita. Jadi, bagaimana kalau kita mulai dari sekarang? Letakkan HP kamu, tarik napas dalam-dalam, dan tanyakan pada diri sendiri: apa hal penting yang ingin kamu fokuskan hari ini?
4 Komentar
Memang tidak mungkin kita meninggalkan tehnologi, tetapi dengan
BalasHapusManagement waktu yg baik insaalloh persoalan bisa kita atasi.
Sepakat kak Nurul!
HapusSaya sangat relate dengan tulisan ini, dan setuju, tanpa strategi yang tepat e.g. disiplin waktu, teknologi bukannya mempermudah malahan dapat membahayakan kehidupan kita.
BalasHapusTerima kasih untuk kunjungannya, dan senang jika tulisan ini ada relate-nya dengan kak Lani, mudah-mudah menambah insight! :)
Hapus