Pernahkah kamu duduk di depan layar kosong, jari-jarimu menggantung di atas keyboard, tetapi tidak ada satu pun kata yang keluar? Rasanya seperti semua ide yang tadinya begitu deras mengalir tiba-tiba menguap, meninggalkan ruang kosong yang menyesakkan. Sebagai seorang blogger, saya sering mengalaminya—writer's block. Mungkin kamu juga, kalau sudah membaca sejauh ini. Writer's block itu semacam musuh bayangan yang, walaupun tak terlihat, punya kekuatan besar untuk melumpuhkan kreativitas.
Tapi di tengah frustrasi itu, saya menemukan sesuatu yang mengejutkan: stoikisme. Kamu tahu, filsafat Yunani kuno yang sering diasosiasikan dengan ketenangan batin dan penerimaan terhadap hidup? Ternyata, cara berpikir ala stoik bisa jadi kunci untuk menghadapi writer's block. Dan saya akan ceritakan bagaimana itu bekerja—melalui pengalaman, cerita, dan sedikit filosofi.
Saya pertama kali mengenal filosofi stoik setelah nonton On Marissa’s Mind di channel Youtube Greatmind. Bermula dari sana, kemudian tertarik untuk cari tahu, baca-baca, dan banyak dengerin podcast juga untuk lebih tahu lagi soal stoik ini. Hingga sampai tahu kisah Marcus Aurelius, kaisar Romawi yang diam-diam adalah seorang penulis jurnal. Bukunya, Meditations, bukanlah buku yang ia tulis untuk orang lain; itu lebih seperti catatan pribadinya. Di tengah perang, penyakit, dan tekanan menjadi pemimpin sebuah kerajaan besar, Marcus menulis. Dia menulis bukan karena dia selalu tahu apa yang harus dia tulis, tetapi karena dia tahu bahwa menulis adalah cara untuk mengarahkan pikirannya.
Satu kalimat dari Meditations terus terngiang di kepala saya: “You have power over your mind—not outside events. Realize this, and you will find strength.” Bagi Marcus, dunia luar penuh dengan hal-hal yang tidak bisa dia kendalikan. Sama seperti kita tidak bisa mengontrol apakah ide-ide mengalir lancar atau tersendat. Tapi pikiran? Itu wilayah kita. Pikiran adalah tempat di mana writer's block sebenarnya berakar.
Ketika saya membaca itu, saya langsung ingat suatu malam ketika saya benar-benar stuck untuk posting tulisan ke blog. Tenggat waktu semakin dekat, tetapi setiap kata yang saya ketik terasa salah. Saya menatap kursor yang berkedip di layar laptop, dan semakin saya mencoba, malah semakin frustrasi. Lalu saya berhenti, menutup laptop, dan berpikir: apa yang sebenarnya menghalangi saya? Jawabannya adalah diri saya sendiri. Ketakutan akan gagal, perfeksionisme, dan harapan bahwa saya harus selalu “mengalir”.
Ada satu cerita lain yang membantu saya memahami ini, meskipun dari dunia yang jauh berbeda: kisah J.K. Rowling saat dia menulis buku pertama Harry Potter. Rowling pernah bercerita bahwa dia menulis sebagian besar novel pertamanya di sebuah kafe kecil sambil bergulat dengan banyak tekanan hidup—masalah keuangan, tanggung jawab sebagai ibu tunggal, bahkan keraguan diri yang konstan. Menariknya, dia tidak membiarkan keadaan eksternal menghentikannya. Seperti seorang stoik, dia fokus pada apa yang bisa dia kendalikan: duduk, menuangkan satu kalimat ke kertas, dan terus melangkah meski hari-hari terasa berat.
Ketika kamu mulai memandang writer's block bukan sebagai rintangan permanen, tapi lebih sebagai bagian dari proses kreatif yang harus dihadapi, ada semacam kebebasan di sana. Hal ini mengingatkan saya pada salah satu prinsip stoik: Amor Fati—mencintai takdir. Filosofi ini mengajarkan kita untuk menerima dan bahkan merangkul tantangan. Bagi seorang penulis, mungkin itu berarti menerima writer's block sebagai tanda bahwa kamu sedang berada di tepi sebuah ide besar, bukan akhir dari kreativitasmu.
Jadi, apa yang saya lakukan ketika writer's block datang? Saya berhenti melawan. Saya berhenti menuntut diri sendiri untuk langsung menemukan kata-kata yang sempurna. Alih-alih, saya mencoba pendekatan yang lebih santai, seperti yang mungkin disarankan oleh Epictetus, seorang filsuf stoik lainnya. Dia mengatakan, “It's not what happens to you, but how you react to it that matters.” Dalam konteks menulis, ini berarti bagaimana kita merespons kebuntuan yang menentukan apakah kita bisa terus maju atau tidak.
Kadang, saya mulai dengan hal-hal kecil. Misalnya, menulis satu paragraf buruk dengan sengaja. Ya, buruk. Saya membiarkan diri saya menulis sembarang tanpa takut dihakimi—oleh pembaca, editor, atau bahkan oleh diri saya sendiri. Stoikisme mengajarkan untuk melepaskan diri dari kebutuhan akan hasil sempurna. Proseslah yang penting. Dan kamu tahu apa? Paragraf buruk itu sering kali menjadi jalan masuk ke ide yang lebih baik.
Ada hari-hari ketika saya hanya duduk dan menuliskan daftar kata atau frasa yang terlintas di pikiran. Tidak ada tujuan spesifik. Tidak ada tekanan. Terkadang, cara ini mengalirkan kembali kreativitas seperti air yang perlahan merembes di celah-celah batu.
Pernahkah kamu berpikir bahwa writer's block sebenarnya adalah bagian dari perjalanan yang perlu dirayakan? Sama seperti Marcus Aurelius yang menerima perang dan tantangan hidup sebagai bagian dari tugasnya sebagai seorang kaisar, kita juga perlu menerima kebuntuan sebagai bagian dari kehidupan seorang penulis. Stoikisme mengajarkan kita untuk tidak terjebak pada ilusi bahwa hidup selalu lancar. Seorang stoik tahu bahwa gangguan itu tak terelakkan, tetapi kita bisa memilih bagaimana menghadapi gangguan tersebut.
Suatu kali, saat saya benar-benar kehabisan ide, saya mencoba teknik lain yang terinspirasi dari stoikisme: visualisasi negatif. Dalam filosofi stoik, ini adalah praktik membayangkan skenario terburuk untuk membantu kita menghargai apa yang kita miliki saat ini. Saya mempraktikkannya dengan membayangkan hidup tanpa kemampuan untuk menulis sama sekali. Apa yang akan terjadi jika saya kehilangan kemampuan itu? Anehnya, pikiran itu malah membuat saya lebih bersyukur dan memberi saya keberanian untuk mencoba menulis lagi, meskipun hanya sedikit demi sedikit.
Writer's block, kalau dipikir-pikir, hanyalah sebuah nama untuk sesuatu yang sering kali terlalu kita dramatisasi. Dalam pandangan stoik, writer's block bukanlah musuh. Itu adalah teman yang membantu kita untuk menjadi lebih sabar, lebih rendah hati, dan lebih berani menerima bahwa tulisan yang kita hasilkan mungkin tidak sempurna—dan itu tidak masalah.
Jadi, kalau kamu sedang terjebak dalam writer's block, cobalah untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri. Ingatlah apa yang bisa kamu kendalikan dan lepaskan hal-hal yang tidak bisa kamu kontrol. Duduklah, tuliskan satu kalimat buruk, dan biarkan itu menjadi awal yang sederhana. Seperti kata-kata bijak dari Marcus Aurelius: “Do what you can, with what you have, where you are.”
Kamu tidak perlu menunggu momen yang sempurna untuk menulis. Mulailah sekarang. Layar kosong itu mungkin menakutkan, tetapi itu juga adalah kesempatan. Kesempatan untuk menjadi seorang stoik modern yang menghadapi tantangan kreatif dengan tenang, gigih, dan penuh penerimaan.
20 Komentar
Iya, betul sekali. Kalau saya mengatasinya, dengan menulis secara langsung ide yang didapatkan on the spot.
BalasHapusKayak Program TV majalah berita kak, "On The Spot" :D
HapusKalau saya biasanya lanjut pindah membaca tulisan orang lain. Biasanya muncul ide baru.
BalasHapusMembuat outline sebelum memulai suatu karya juga bagus untuk menghindari writer's block.
Ya sepakat, we can't give what we don't have, membaca itu ibarat modal kita untuk menulis.
HapusBeberapa waktu lalu syaa di fase itu. Saya menyebutnya "zona mati kata" Bener² stuck.. Tp benar.. Harus dihadapi dan tetap paksa menulis apa aja..
BalasHapusIni tulisan yg menarik buat saya.. Terimakasih kang untuk tulisannya..
Makasih juga kak Rahmi telah berkunjung. Semoga makin giat kita menulis, menebar cahaya untuk perasaan-perasaan gelap, bagi siapa pun, termasuk kita sendiri!
HapusSaya setuju bahwa alih-alih melihat writer's block sebagai hambatan, kita bisa mengubahnya menjadi peluang untuk merenung dan menyusun ulang ide-ide kita. Pendekatan Stoik yang berfokus pada penerimaan keadaan, kontrol terhadap apa yang bisa kita kendalikan, dan ketenangan dalam menghadapi tantangan adalah prinsip-prinsip yang relevan dan sangat membantu dalam situasi ini.
BalasHapusTeruslah bersinar, seperti sinar mentari pagi yang menghangatkan, karena tulisan yang baik itu menjadi penerang bukan untuk yang lain, tapi mula-mula bagi kita sendiri. Terima kasih untuk kunjungannya kak Haris!
Hapusilmu baru ini, terima kasih mas aan. Tiap mau mulai menulis atau lanjutkan naskah bahkan yang hampir selesai, buka laptop, terus bingung, selalu writer's block ini muncul. Seperti memandangi laut luas, kosong, hampa nggak nampak apa-apa. sekarang sadar bahwa saya tidak sendirian dan sudah tahu cara menghadapinya.
BalasHapusKeep writing, Kak!
HapusBenar sekali dek Aan, bunda seringkali berteman dengan writer's blok, ternyata tak perlu menghindari, terima kasih pencerahannya
BalasHapusHai Bunda, terima kasih sudah berkunjung.. semoga tetap semangat ya Bund :D
HapusSaya biasanya melakukan kegiatan lain seperti beberes rumah :-) tapi otak tetap bekerja, memikirkan ide tulisan. Next, saya akan coba free writing. Thanks sharingnya Kak!
BalasHapusHahaha.. semangat buat pekerjaan rumahnya. Love it!
HapusDo what you can, with what you have, where you are.” saya setuju.Bahkan kadang aku ambil buku orang lain dan membacanya, mungkin disana ada mutiara indah yang siap menemaniku untuk menulis lagi.Makasih pencerahannya.
BalasHapusYes, do it, bro! :D
HapusBeberapa hari ini tidak menulis, bukannya tidak ada ide tapi entah kenapa ada saja alasan untuk tidak melakukannya. Terimakasih tulisannya jadi saya bisa melihat dari sisi lain.
BalasHapusTerima kasih kak Cita, semoga makin semangat nulisnya!
HapusMenarik. Setelah membaca tulisan ini, saya jadi mendapatkan cipratan pengetahuan baru, tentang stoikisme. Ditunggu, tulisan2 menarik berikutnya, kak.
BalasHapusHaha.. nanti akan saya gelontorkan sekaligus.. biar gak cuma cipratan :))
Hapus