Saat Kesalahan Terjadi: Merangkul Diri dan Melangkah Maju


Kamu pernah nggak sih merasa seperti seluruh dunia sedang menghakimi kamu gara-gara satu kesalahan yang kamu buat? Saya pernah, dan sadar atau pun tidak, mungkin terlalu sering malah. Ada kalanya saya terbangun di tengah malam, memutar ulang adegan kesalahan itu di kepala, dan bertanya-tanya, "Kenapa saya bisa begitu bodoh?" Rasanya, beban itu sulit dilepaskan. Tapi, pelan-pelan saya belajar bahwa kesalahan itu bukan hanya sesuatu yang buruk; mereka juga adalah guru yang sangat berharga.

Ketika kita bicara tentang kesalahan, sering kali kita terjebak pada narasi bahwa kesalahan adalah sesuatu yang harus dihindari dengan segala cara. Padahal, menurut Carl Jung, salah satu tokoh besar dalam psikologi, kesalahan adalah bagian dari proses individuasi, yaitu perjalanan kita untuk menjadi diri kita yang utuh. Jung percaya bahwa dengan menghadapi dan menerima kesalahan, kita sebenarnya sedang mengintegrasikan sisi-sisi gelap dari diri kita sendiri. Nah, dari situ saya mulai mencoba melihat kesalahan dengan cara yang berbeda.

Satu pengalaman yang masih saya ingat adalah ketika saya salah mengambil keputusan besar di tempat kerja. Waktu itu, saya terlalu percaya diri, kurang mendengarkan masukan orang lain, dan akhirnya proyek itu gagal total. Perasaan bersalahnya luar biasa. Saya merasa telah mengecewakan tim, atasan, dan terutama diri sendiri. Saya ingin lari dari semua itu, tetapi sayangnya, nggak ada tempat untuk lari. Hari demi hari saya bawa rasa bersalah itu, seperti ransel berat yang nggak pernah bisa saya lepas.

Sampai suatu hari, seorang teman mengatakan sesuatu yang mengubah perspektif saya. Dia bilang, "Kamu tahu, semua orang pernah bikin kesalahan. Yang penting itu bukan kesalahannya, tapi apa yang kamu lakukan setelahnya." Awalnya, saya menganggap itu hanya kata-kata penghibur. Tapi setelah pikir-pikir, ada benarnya juga. Saya mulai mencoba melihat kesalahan saya bukan sebagai tanda kegagalan, tapi sebagai kesempatan untuk belajar.

Penelitian dalam psikologi positif mendukung ide ini. Menurut Carol Dweck, seorang psikolog terkenal dari Stanford University, orang dengan pola pikir berkembang (growth mindset) melihat kesalahan sebagai peluang untuk tumbuh. Mereka percaya bahwa kemampuan dan kecerdasan bisa berkembang melalui usaha dan pengalaman, termasuk pengalaman gagal. Jadi, kalau kita terus-menerus menghakimi diri sendiri atas kesalahan, kita malah memblokir peluang untuk belajar dan berkembang.

Namun, jujur saja, merangkul kesalahan itu nggak semudah teori. Ada satu fase yang menurut saya paling sulit: menerima bahwa saya manusia biasa yang bisa salah. Ego saya sering kali nggak mau mengakui itu. Ada suara kecil di kepala yang terus membisikkan, "Kalau kamu nggak bikin kesalahan itu, semuanya akan lebih baik." Suara itu keras dan menyebalkan. Tapi kemudian saya sadar, membenci diri sendiri hanya memperburuk situasi.

Salah satu cara saya mencoba berdamai dengan kesalahan adalah dengan mempraktikkan self-compassion. Kristin Neff, seorang peneliti terkemuka di bidang ini, mengatakan bahwa self-compassion melibatkan tiga hal: kebaikan kepada diri sendiri, rasa kemanusiaan bersama, dan mindfulness. Yang pertama, kebaikan kepada diri sendiri, berarti berbicara kepada diri kita dengan lembut, seperti kita berbicara kepada teman yang sedang kesulitan. Yang kedua, rasa kemanusiaan bersama, mengingatkan kita bahwa semua orang pernah mengalami kesulitan dan membuat kesalahan. Dan yang terakhir, mindfulness, membantu kita menerima emosi tanpa harus terjebak di dalamnya.

Saya mulai mempraktikkan ini secara perlahan. Ketika rasa bersalah muncul, saya berhenti dan berkata pada diri sendiri, "Ini memang berat, tapi semua orang pernah melalui hal seperti ini. Kamu nggak sendirian." Awalnya terasa aneh, seperti berbicara dengan diri sendiri itu hal yang konyol. Tapi lama-kelamaan, saya merasa sedikit lega. Saya nggak lagi melihat kesalahan sebagai musuh yang harus dikalahkan, tapi sebagai bagian dari perjalanan.

Tentu saja, menerima kesalahan bukan berarti kita mengabaikannya atau nggak bertanggung jawab. Malah sebaliknya, ini tentang mengambil tanggung jawab dengan cara yang sehat. Saya belajar untuk menganalisis apa yang salah, memahami apa yang bisa saya lakukan dengan lebih baik, dan kemudian melangkah maju dengan rencana yang lebih matang. Di sini, refleksi menjadi alat yang sangat penting. Saya menuliskan perasaan dan pemikiran saya di jurnal, mencoba memahami pola-pola yang membuat saya jatuh ke kesalahan yang sama, dan mencari cara untuk menghindarinya di masa depan.

Yang menarik, semakin saya menerima kesalahan saya, semakin mudah saya memaafkan kesalahan orang lain. Saya jadi lebih sabar dan memahami bahwa setiap orang sedang berjuang dengan caranya sendiri. Ini juga membuat hubungan saya dengan orang-orang di sekitar menjadi lebih baik. Rasanya seperti ada lingkaran kebaikan yang dimulai dari diri sendiri, lalu menyebar ke orang lain.

Sampai hari ini, saya masih membuat kesalahan. Tentu saja. Saya manusia. Tapi, sekarang saya tahu bahwa kesalahan itu bukan akhir dari segalanya. Mereka adalah pengingat bahwa saya sedang hidup, mencoba, dan belajar. Seperti kata pepatah Jepang, "Nana korobi ya oki"—jatuh tujuh kali, bangkit delapan kali. Yang penting bukan seberapa sering kita jatuh, tapi seberapa kuat kita bangkit kembali.

Jadi, jika kamu sedang bergumul dengan kesalahan, cobalah untuk melihatnya sebagai bagian dari perjalananmu. Kamu nggak sendiri, dan kamu pasti bisa melangkah maju. Seperti yang teman saya bilang waktu itu, yang penting bukan kesalahannya, tapi apa yang kamu lakukan setelahnya.

Posting Komentar

6 Komentar

  1. Pasti ada hikmah dibalik kesalahan yg kita buat, menjadi lebih sabar dan semakin kuat merupakan perubahan yang positip. Keren kang

    BalasHapus
  2. Hai kak terimakasih, untuk tulisannya. Tulisan ini menyadarkan bahwa manusia no body perfect itu bener ya!🙂‍↕️

    BalasHapus
  3. Pernah di posisi ini. Dan cuma waktu yang meringankan sakitnya. Walaupun kadang masih teringat, tapi lukanya tidak perih lagi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kata orang: "Time heals, but not with our memory." Namun kenyataannya: Waktu tidak menyembuhkan apa pun. Waktu memberi kita kesempatan untuk mengubur rasa sakit kita sedalam yang kita bisa.

      Hapus