Kalau Orang Lain Bisa, Saya Juga Bisa. Benarkah?

Ada seorang pemula yang mencoba mengikuti tutorial memasak di media sosial. Melihat betapa mudah dan menyenangkannya proses itu dalam video, dia berpikir, "Kalau dia bisa masak seperti itu, gue juga bisa!" Namun, kenyataan tidak semudah yang dibayangkan. Kesalahan kecil dalam mengatur api malah berujung pada tragedi: dapurnya kebakaran! Bukan menghasilkan hidangan lezat, dia malah harus berurusan dengan petugas damkar. Kisah ini, meski ekstrem, menggambarkan bagaimana harapan tinggi yang dipicu oleh keberhasilan orang lain bisa berbenturan dengan realita.


Premis "Kalau orang lain bisa, saya juga bisa!" adalah pernyataan sederhana yang penuh makna, tapi kamu harus berhati-hati karena bisa juga menyesatkan. Di satu sisi, ini memberikan dorongan optimisme dan keyakinan diri, tapi di sisi lain, ada banyak hal menarik yang bisa digali. Saya coba sedikit ulas dari sisi psikologi, filsafat, dan sosiologi. Juga bagaimana kita memahami ini di era modern yang penuh tekanan sekaligus peluang. Yuk, terus baca!

Dalam psikologi, pernyataan ini punya dasar kuat. Kita cenderung belajar dari apa yang kita lihat. Kalau orang lain berhasil, terutama kalau mereka punya kemiripan dengan kita, otak kita otomatis berpikir, "Eh, kalau dia bisa, kenapa gue nggak?" Ini bukan sekadar asumsi kosong. Ada teori pembelajaran sosial dari Albert Bandura yang mendukung hal ini. Misalnya, eksperimen terkenal dengan boneka Bobo menunjukkan bagaimana anak-anak meniru perilaku orang dewasa yang mereka amati. Kalau orang dewasa bertindak agresif terhadap boneka, anak-anak cenderung meniru perilaku tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kita belajar banyak dari lingkungan kita, termasuk keberhasilan orang lain.

Plus, ada konsep yang namanya efikasi diri, yaitu kepercayaan kita terhadap kemampuan sendiri untuk mencapai tujuan atau menyelesaikan tugas tertentu. Efikasi diri ini dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, pengalaman pribadi; kalau kita pernah berhasil mengerjakan sesuatu sebelumnya, kita cenderung lebih percaya diri. Kedua, pengalaman vikarius, yaitu melihat orang lain berhasil. Ketiga, dorongan sosial seperti pujian atau dukungan dari orang lain. Dan keempat, kondisi psikologis; misalnya, kalau kita sedang santai dan tidak stres, rasa percaya diri biasanya lebih tinggi. Jadi, kalau kita lihat orang lain sukses, itu bisa memompa efikasi diri kita, meski ada catatan penting: jangan lupa realistis. Kalau kita berharap terlalu tinggi tanpa memahami tantangan sebenarnya, semangat tadi bisa berubah jadi beban yang bikin stres.

Di sisi lain, kalau dipikir secara filosofis, premis ini bikin kita merenung tentang kebebasan dan tanggung jawab. Jean-Paul Sartre, misalnya, bilang kalau kita ini "pengrajin" hidup kita sendiri. Artinya, kita punya kebebasan untuk menentukan apa yang mau kita capai. Tapi, kebebasan ini datang bareng tanggung jawab, dan di sinilah muncul dilema. Apakah semua orang benar-benar punya peluang yang sama? Kalau ada orang yang berhasil karena mereka punya akses lebih baik ke pendidikan atau dukungan tertentu (privilege), maka apakah itu berarti semua orang bisa melakukan hal yang sama? Nggak, kan?! Rasanya nggak adil kalau kita mengabaikan faktor-faktor seperti ini.

Kemudian, kalau dilihat dari sisi sosial, narasi "kalau orang lain bisa, saya juga bisa" sering banget muncul di masyarakat yang percaya meritokrasi. Dalam teori ini, keberhasilan dianggap hasil murni dari usaha dan kemampuan individu. Tapi kenyataannya, struktur sosial sering kali membatasi akses ke peluang. Nggak semua orang punya jalan yang sama. Dan di zaman media sosial sekarang, hal ini makin rumit. Kita sering lihat postingan keberhasilan orang lain yang bikin kita mikir, "Wow, gampang banget ya sukses." Padahal, yang ditunjukkan itu hanya bagian puncaknya aja, bukan perjuangan di belakang layar.

Ah, tapi nggak semuanya negatif, kok. Di era modern ini, ada banyak hal yang bikin premis tadi jadi relevan. Cerita-cerita inspiratif tentang orang yang bangkit dari nol sering banget memotivasi kita. Ada juga platform pendidikan online yang bikin belajar hal baru jadi lebih gampang. Cuma di sisi lain, kita juga harus hati-hati. Optimisme berlebihan bisa bikin kita lupa bahwa setiap orang punya jalannya masing-masing. Membandingkan diri kita dengan orang lain bisa jadi racun kalau nggak dilakukan dengan cara yang sehat.

Jadi, gimana kita menyikapi premis ini? Kuncinya ada di keseimbangan. Kita bisa pakai kalimat ini sebagai motivasi, tapi jangan sampai kehilangan kesadaran diri. Setiap orang punya cerita dan tantangannya sendiri. Jadikan keberhasilan orang lain sebagai inspirasi, bukan alat untuk menyiksa diri sendiri. Dengan begitu, "Kalau orang lain bisa, saya juga bisa!" tetap jadi mantra yang membangun tanpa membuat kita kehilangan pijakan pada kenyataan.

Posting Komentar

3 Komentar

  1. Memang sih frasa Kalau Orang Lain Bisa, Saya Juga Bisa menjadi motivasi sekaligus demotivasi. Satu sisi menyenangkan dan sisi lainnya menyedihkan. Jadi, kita sebagai penulis harus pandai-pandai menelaah kemampuan diri, apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan kita, supaya kita berhasil mencapai kesuksesan dan kebahagiaan diri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul banget, terima kasih untuk kunjungannya!

      Hapus
  2. Premis ini mungkin bisa juga menjadi motivasi untuk mencoba hal baru dan menemukan hidden potential kita.

    BalasHapus